Rabu, 13 April 2016

perang padri


SEJARAH INDONESIA II
PERANG PADRI


MAKALAH


Dosen Pengampu : Dr. Sri Handayani, M.M.


Oleh:
1.      Taufik Kholil
NIM 150210302071
2.      Azizah
NIM 150210302067
3.      Ikmal Kadafi
NIM 150210302053



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016


KATA PENGANTAR



Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatNya-lah maka kami bisa menyelesaikan makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah tentang “Perlawanan Terhadap Kolonialisme Belanda”, yang menurut kami  dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari berbagai sejarah tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan bisa mengetahui perjuangan dari rakyat-nya itu sendiri.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat untuk semua pihak. Amin.


Penulis











DAFTAR ISI


                                                               


BAB I PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Pentingnya pembahasan topik ini adalah untuk mengetahui bagaimana penderitaan bangsa Indonesia ketika di jajah oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga terjadi perlawanan-perlawanan di berbagai daerah untuk menusir para penjajah, khususnya para penjajah Belanda.
Sampai dengan abad 18 penetrasi kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode, yaitu perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.
Proses penjajahan di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup tergambarkan dalam satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami maupun berbagai peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih banyak menyimpan rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.



1.2  Rumusan Masalah

1.            Apa yang melatar belakangi dalam perang padri ?
2.            Bagaimana proses dalam perang padri ?
3.            Bagaimana akhir dari perang padri ?

1.3  Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui latar belakang perang padri
2.      Untuk mengetahui proses perang padri
3.      Untuk mengetahui akhir perang padri



BAB II PEMBAHASAN


2.1  Latar Belakang Terjadinya Perlawanan

Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau (Sumatra Barat) dan sekitarnya terutama di kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu berpakaian putih. Para pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih. Sedangkan kaum adat memakai pakaian hitam. Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa disebut gerakan Padri karena para pemimpin gerakan ini adalah orang Padari, yaitu orang-orang yang berasal dari Pedir yang telah naik haji ke Mekah melalui pelabuhan Aceh yaitu Pedir.
Adapun tujuan dari gerakan Padri adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam yang murni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dari kaum adat. (Mawarti, Djoened PNN, 1984:169).
Dalam perkembangannya, di minangkabau tampak timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk, sedang para pembesar tidak mampu menghalangi, bahkan turut menjalankan kebiasaan-kebiasaan buruk, yaitu menyabung ayam, madat, berjudi, dan minum minuman keras. Kebiasaan ini semain meluas dan mempengaruhi kelompok pemudanya.
Menghadapi keadaan ini kaum ulama atau padri mengadakan reaksi sehingga gerakannya dikenal dengan gerakan padri. Kaum padri ingin memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara mengembalikan pada ajaran islam yang murni. Sejak saat itu timbul bibit-bibit pertentanga antara kaum padri dengan kaum adat.
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakatMinangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan yang terdiri dari Tuanku nan Renceh, Tuanku Lubuk aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Galung, Tuanku Biaro, dan Tuanku kapau. kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.
Perang saudara ini semakin meluas dan mengalami perkembangan baru setelah pihak asing mulai campur tangan. Kaum adat mengharapkan bantun dari inggris. Raffles melihat kemungkinan yang terjadi, mempertimbangkan untung dan rugi. Raffles juga menghubungi kaum padri untuk menawarkan jasa baik, tetapi tidak ada persesuaian pendapat. Tujuan raffles sebenarnya untuk mendaatkaan daerah pedalaman yang subur.
Namun, inggris harus segera menyerahkan daerahnya kepada belanda sebagai pelaksanaan perjanjian london (1824). Kekuatan inggris di sumatera barat diserahkan kepada hindia-belanda.  Pemerintah hindia belanda mengangkat james du puy sebagai ressiden. Kaum adat kini beralih memintta bantuan kepada belanda.

2.2 Proses Perlawanan

Musuh  kaum Padri selain kaum adat adalah Belanda. Perlawanan dimulai tahun 1821 Kaum Adat yang mulai terdesak dengan serangan Kaum Padri, meminta bantuan kepada Belanda. Kaum Padri memulai serbuan ke berbagai pos Belanda dan pencegatan terhadap patrol Belanda. Pasukan Padri bersenjatakan senjata tradisional, sedangkan musuhnya menggunakan meriam dan jenis senjata lainnya yang sudah dibilang cukup modern. Pertempuran banyak menimbulkan korban kedua belah pihak. Pasukan Belanda mendirikan benteng pertahanan di Batu sangkar diberi nama Fort Van Der Capellen.
Peperangan ini ditandai dengan tiga masa. Masa pertama berlangsung antara 1821-1825, ditandai dengan meluasnya perlawan rakyat keseluruh daerah minangkabau. Masa kedua adalah antara tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjiaan dengan gerakan kaum pradi yang mulai melemah. Masa ketiga  antara tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran, kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin padri.
Dalam pertempuran yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman dan pasukan Belanda berupa 200 orang serdadu dengan meriam 6 pon dan meriam kodok. Ditambah 8000 hingga 10.000 pasukan dari Bumiputera. Pasukan Tuanku Pasaman gugur kurang lebih 350 orang salah satunya anaknya sendiri. Kemudian mereka mundur menuju Lintau yang menerobos jebakan dari Belanda untuk memutus jalan.
Pada tanggal 10 juni 1822 raaff mengirim surat damai. Tetapi Tuanku Pasaman tidak menjawab dan diserbulah pasukan Padri disekitar Tanjung Alam. Dilain tempat Tuanku Ranceh melakukan penyerangan di Baso pada 14 agustus 1822 terhadap Belanda. Bulan September 1822 Padri mengadakan operasi di Guguk Sugandang dan Tanjung Alam, dan membakar kampung penduduk yang memihak Adat, pasukan Padri berjumlah 20.000 orang.
Di Bonio pertahana Padri cukup kuat, pemimpin Belanda Letnan P. H. Marinus memindah meriam-meriam ke bukit, begitu juga pasukan kapten Brusse dengan seribu penduduk setempa.  Dalam pertempuran ini Marinus meninggal dan Padri mundur di dalam hutan-hutan sekitar.
Pertempuran Padri dilanjut di kapau, pasukan ini pada tanggal 18 september 1823 mencoba mengepung Belanda denga 100 orang dan belanda menyingkir ke Kota Tua. 24 september 1823 di Agam Padri menyerang Belanda dengan jumlah 170 orang dari Belanda, dan berhasil membunuh 19 serdadu tetapi kalahnya persenjataan mendesak Padri yang dijaga 360 orang.
Kolonel Sturs yang diangkat menjadi penguasa sipil dan militer sumatera barat mulai 2 november 1824, pada tanggal 29 oktober 1825 padri diwakili oleh tuanku keramat mengadakan kontrak perjanjian perdamaian yang baru ditanda tangani  di Pedang pada tanggal 15 november 1825 yang isinya kedua belah pihak melindungi pedagang dan orang-orang dari pengungsian diujung karang. Perdamaian antara belanda dan kaum padri ini mengecewakan para pengikut kaum adat.
September 1826 serdadu Belanda di minangkabau sebanyak 500 orang serta 17 opsir ke jawa sehingga kekuatan militer belanda di minangkabau tinggal 677 orang. Dengan ini, belanda harus menjaga 17 pos yang letaknya tersebar di daerah-daerah. Kelemahan ini dimanfaatkan oleh padri untuk melawan, saat belanda melakukan pemaksaan penduduk kampung malik melakukan penentangan.
Kaum padri mengambil kesempatan untuk menyerang belanda, ketua adat dari daerah XII dapat mempengaruhi penduduk kota XX untuk melakukan penyerangan ke belanda juga dengan tidak membayar cukai dan pajak pasar.
Tahun 1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah meluas sampai ke Batak Mandailing, Tapanuli. Di Natal. Tapanuli Baginda Marah Husein minta bantuan kepada Kaum Padri mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka setelah selesai perang Diponegoro, Natal di bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat mempertahankan serangan Belanda di sana.
Kelemahan belanda diberbagai daerah pertempuran membawa akibat semakin meluasnya perlawanan kaum padri. Di samping itu, terlihat pasukan kaum adat yang kecewa mulai melakukan perlawanan terhadap belanda. Kira-kira 70 orang penghulu adat dengan bantuan penduduk XIII kota yang bersikap anti-belanda telah menyerbu padang, tetapi kemudian memundurkan diri stelah kurang lebih 100 orang serdadu belanda melawannya. Sementara itu, kaum padri yang bergerak disebelah barat pasaman berhasil menduduki air bangis.
Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh Letnan Kolonel Elout, yang datang di Padang Maret 1831. Dengan bantuan Mayor Michiels, Natal dapat direbut, sehingga Tuanku Nan Cerdik  ke Bonjol. Banyak kampung yang dapat direbut Belanda. Tahun 1832 datang bantuan dari Jawa, di bawah Sentot Prawirodirjo. Dengan cepat Lintau, Bukit, Komang, Bonjol, dan hampir seluruh daerah Agam dapat dikuasai oleh Belanda.
Sementara itu, pertemuan yang terjadi pada 10 september 1833 antara mantua dan agam membawa kekalahan pada pihak padri, meskipun mereka dapat menewaskan beberapa serdadu belanda. Beberapa distrik dan seluruh daerah VIII kota jatuh ke tangan belanda. Penyerangan-penyerangan padri pada pos-pos dan benteng-benteng belanda masih terus dilakukan, seperti penyerangan benteng belanda di amerongen oleh tuanku tambusai pada pertengahan januari 1833.

2.3  Akhir Perlawanan

Kesulitan yang diderita kaum padri di bojol berawal dengan di tutupnya jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh pasukan belanda. Pada tanggal 11-16 juni 1835, sayap kanan pasukan belanda telah berhasil menutup jalan yang menghubungkan benteng bonjol dengnan daerah sebelah barat.
Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan ditujukan langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain. Perundingan perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar benteng. Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol,yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pasukan Padri terdesak dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belanda menyebabkan Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah pada tanggal 25 Oktober 1937.
Tuanku imam bonjol kemudian dibuang ke cianjur, jawa barat. Tada tanggal 19 januari 1839 beliau dibuang ke ambon, lalu pada tahun 1841 dipindahkan ke manado, dan meninggal disana pada tanggal 6 november 1864.
Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan kaum Padri telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusai pada tahun 1838.  Setelah itu berakhirlah perang Padri dan daerah Minangkabau dikuasai oleh Belanda.


















BAB III PENUTUP


3.1  Kesimpulan

Akhirnya pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil  ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu , yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Hancurnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah kenegeri sembilan semenanjung malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai karena sudah tidak ada perlawanan yang berarti.

3.2  Saran

Semoga dengan dibuatnya makalah ini, kita bisa mengetahui bagaimana susahnya pejuang Indonesia zaman dahulu merebut NKRI, dari bertaruh harta maupun nyawa. Janganlah melupakan jasa pahlawan yang telah gugur dalam membela Indonesia dan semoga kita bisa mengambil nilai-nilai luhur dari mereka.










DAFTAR PUSTAKA



http://iskandarberkasta-sudra.blogspot.com/2011/02/kedatangan-belanda-ke-indonesia.html
Notosusanto, Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia  Jilid IV.  Jakarta: PN Balai Pustaka.

Rickleft.1999. Sejarah Indonesia Moderen. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

0 komentar:

Posting Komentar