Prasati congapan
Prasasti congapan terletak di Dusun Congapan Desa
Karang Bayat Kecamatan Sumberbaru. Masyarakat setempat menyebut prasasti
congapan dengan nama betoh pelampean. Pada
bagian atas berbentuk dua tonjolan, pada ujung selatan terdapat pahatan dengan
dua wadah (bak) air, sedangkan di bagian timur terdapat lubag pancuran.
Prasasti ini terletak di kawasan gunung Argopuro. Gunung Argopuro yang masuk
pengunungan hyang, pada lerengnya mempunyai potensi kekayaan arkeologi. Mulai
dari situs candi kedaton yang berada di Tiris Probolinggo dan situs Dewi
Rengganis yang menurut para pendaki dan masyarakat setempat berupa reruntuhan
bangunan keraton dari bahan batu yang merupkan ‘istana Dewi Rengganis’ yang
mitosnya begitu kental dimasyarakat jember.
Masyarakat setempat menghubungakan prasasti congapan
dengan dewi rengganis, karena menurut masyarakat setempat di dekat lokasi
prasasti congapan terdapat situs candi peninggalan dari Dewi Rengganis. “dulu
batu plampean ini merupakan tempat dewi rengganis mandi, dewi rengganis sering
mengunjungi betoh plampean ini.”, ujar
pak Rahmat salah satu penduduk setempat yang telah menunjukkan lokasi
dari prasasti congapan. Pak Rahmat juga mengatakan bahwa juru kunci dari
prasasti congapan telah meninggal.
Prasasti
Congapan mengandung mitos yang lekat dimasyarakat setempat. Akibatnya, banyak
orang dari berbagai daerah datang ke prasasti congapan hanya untuk melakukan
pesugihan. “banyak orang datang ke batu
plampean hanya untuk mencari pesugihan. Mereka juga mengambil batu-batu di
sekitar betoh plampean.”, ujar yai
hasyim, cucu dari juru kunci prasasti congapan.
Menurut Koordinator Balai
Pelestari Cagar Budaya Jember, Didik Purbandriyo, prasasti
congapan memiliki tinggi 126 cm, panjang 280 cm, dan lebar 268 cm. Prasasti
congapan diperkirakan lebih muda dari prasati watu gong di Rambipuji.
Prasasti
congapan pertama kali dibaca oleh W.F. Stutterheim, seorang arkeolog yang juga
meneliti prasasti watu gong. Tulisan prasasti congapan terpahat di sisi bagian
itara (vertikal) yang terdiri dari empat buah aksara dengan bentuk tulisan
kuadrat kediri. Aksara ini berbunyi sarwa
hana atau diartikan “serba ada” yang dimaksudkan sebagai Dewa Siwa. Tulisan
kedua (mendatar) berbunyi tlah sanak
pangilanganku, dengan makna “habis saudara pangilanganku/ kehilanganku”.
Prasasti
congapan ini diulas oleh M.M. Sukarto Karto Atmodjo, di mana tulisan yang kedua
tlah sanak pangilanganku diartikan
sebagai kronogram (sengkalan) yang melambangkan angka tahun tertentu.
Istilah
tlah (habis) melambangkan angka 0
(kosong0. Sanak (saudara) angka
1, ilang
(hilang, moksa) adalah 0, dan aku (saya) adalah 1. Dengan demikian terdapat
deretan angka 0101, sesuai dengan susunan kronogram angka tersebut harus dibaca
dari belakang, sehingga menjadi 1010 saka atau 1088 masehi. Sedangkan tulisan sarwwa hana belum bisa ditafsirkan
maknanya secara eksplisit.
Melihat
dari angka tahun prasasti congapan diduga merupakan peninggalan dari penguasa
kerajaan jenggala dari dinasti isyana. Berdasarkan gambaran tentang konsep
mitologi simbolik gunung dan air dalam agama Hindu, dengan mencermati fenomena
sejarah, Airlangga dan keturunanya mempunyai perhatian besar pada bidang
pengairan dan pertanian.
Kemudian pada generasi penerus Airlangga, yaitu Raja
Samarotsaha 1059 M pernah menetapkan Desa semengka sebagai sima perdikan swatantra. Anugerah raja diberikan diberikan sebagai
apresiasi kepada pemuka desa yang berjasa memperbaiki saluran air peninggalan
Resi Aji Paduka Mpungku yang dimakamkan di tirtha
atau pemandian.
Lebih dari satu abad setelah masa Raja Samarotsaha,
ketrurunan dari raja Airlangga berikutnya telah membuat prasasti di tempat
ketinggian Gunung Semeru di tepi danau Ranu Kumbala. Prasasti Ranu Kumbala yang
dibuat pada masa raja Kameswara (1180-1190), diduga terkait secara historis
dengan prasasti congapan. Pembuatan dan lokasi prasasti yang berdekatan dengan
air, menyiratkan bahwa raja Kameswara I mewarisi kecintaan terhadap air dan
gunung dari leluhurnya yaitu Airlangga.
Sehingga prasasti congapan yang dibuat dengan
dilengkapi pancuran dan bak air tidak lepas kaitan dengan tirtha amerta (air suci keabadian) sebagai simbol ritual tradisi
Hindu. Selain itu tidak jauh dari lokasi prasasti, terdapat sungai sampean yang
cukup besar sebagai urat nadi kehidupan masyarakat sekitar. Keberadaan sungai
yang dekat dengan prasasti sangan erat hubungannya dengan pemberdaan sungai
tersebut dimasa lalu.
Sampai sekarang kondisi jalan menuju prasasti
congapan sanagat sulit dilalui, harus melewati jalan setapak yang berada di
sisi selatan gunung dengan jalur menanjak terjal dan berbatu. Jalan berat yang
dulunya dilintasi perjalanan tirthayatra
para raja masa hindu yang beraliran
syiwa. Meskipun berat, misi spritual dengan mengambil air suci merupakan salah
sau bentuk peribadatan yanng lazim disebut ‘pendakian spiritual’ dalam
keyakinan hindu. Ritual dengan keyakinan
tirtayatra dengan pendaki
gunung oleh raja dan pengiringnyajuga bermaksud sebagai serap aspirasi rakyat,
dan juga sebagai rekreasi untuk menyegarkan badan dan pikiran.
Menurut
Koordinator Balai Pelestari Cagar Budaya Jember, Didik Purbandriyo, lokasi
prasasti congapan berada di lereng gunung karena adanya konsep mahameru yang
dianut oleh pemeluk agama hindu. Dimana semakin tinggi lokasi tersebut maka
semakin dekat pula dengan dewa.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, zainollah. Topographia sacra menelusuri jejak sejarah jember kuno. 2015.
Araska: yogyakarta
Poeponegoro, marwati djoened. Sejarah nasional indonesia II. 2010. Balai pustaka: jakarta
Dinas pariwisata kebupaten jember
Museum diknas jember
0 komentar:
Posting Komentar