Senin, 11 April 2016

prasasti congapan

Prasati congapan
Prasasti congapan terletak di Dusun Congapan Desa Karang Bayat Kecamatan Sumberbaru. Masyarakat setempat menyebut prasasti congapan dengan nama betoh pelampean. Pada bagian atas berbentuk dua tonjolan, pada ujung selatan terdapat pahatan dengan dua wadah (bak) air, sedangkan di bagian timur terdapat lubag pancuran. Prasasti ini terletak di kawasan gunung Argopuro. Gunung Argopuro yang masuk pengunungan hyang, pada lerengnya mempunyai potensi kekayaan arkeologi. Mulai dari situs candi kedaton yang berada di Tiris Probolinggo dan situs Dewi Rengganis yang menurut para pendaki dan masyarakat setempat berupa reruntuhan bangunan keraton dari bahan batu yang merupkan ‘istana Dewi Rengganis’ yang mitosnya begitu kental dimasyarakat jember.
Masyarakat setempat menghubungakan prasasti congapan dengan dewi rengganis, karena menurut masyarakat setempat di dekat lokasi prasasti congapan terdapat situs candi peninggalan dari Dewi Rengganis. “dulu batu plampean ini merupakan tempat dewi rengganis mandi, dewi rengganis sering mengunjungi betoh plampean  ini.”, ujar  pak Rahmat salah satu penduduk setempat yang telah menunjukkan lokasi dari prasasti congapan. Pak Rahmat juga mengatakan bahwa juru kunci dari prasasti congapan telah meninggal.
Prasasti Congapan mengandung mitos yang lekat dimasyarakat setempat. Akibatnya, banyak orang dari berbagai daerah datang ke prasasti congapan hanya untuk melakukan pesugihan. “banyak orang datang ke batu plampean hanya untuk mencari pesugihan. Mereka juga mengambil batu-batu di sekitar betoh plampean.”, ujar yai hasyim, cucu dari juru kunci prasasti congapan.
Menurut Koordinator Balai Pelestari Cagar Budaya Jember, Didik Purbandriyo,  prasasti congapan memiliki tinggi 126 cm, panjang 280 cm, dan lebar 268 cm. Prasasti congapan diperkirakan lebih muda dari prasati watu gong di Rambipuji.
Prasasti congapan pertama kali dibaca oleh W.F. Stutterheim, seorang arkeolog yang juga meneliti prasasti watu gong. Tulisan prasasti congapan terpahat di sisi bagian itara (vertikal) yang terdiri dari empat buah aksara dengan bentuk tulisan kuadrat kediri. Aksara ini berbunyi sarwa hana atau diartikan “serba ada” yang dimaksudkan sebagai Dewa Siwa. Tulisan kedua (mendatar) berbunyi tlah sanak pangilanganku, dengan makna “habis saudara pangilanganku/ kehilanganku”.
Prasasti congapan ini diulas oleh M.M. Sukarto Karto Atmodjo, di mana tulisan yang kedua tlah sanak pangilanganku diartikan sebagai kronogram (sengkalan) yang melambangkan angka tahun tertentu.
Istilah tlah (habis) melambangkan angka 0 (kosong0. Sanak (saudara) angka 1,  ilang (hilang, moksa) adalah 0, dan aku (saya) adalah 1. Dengan demikian terdapat deretan angka 0101, sesuai dengan susunan kronogram angka tersebut harus dibaca dari belakang, sehingga menjadi 1010 saka atau 1088 masehi. Sedangkan tulisan sarwwa hana belum bisa ditafsirkan maknanya secara eksplisit.
Melihat dari angka tahun prasasti congapan diduga merupakan peninggalan dari penguasa kerajaan jenggala dari dinasti isyana. Berdasarkan gambaran tentang konsep mitologi simbolik gunung dan air dalam agama Hindu, dengan mencermati fenomena sejarah, Airlangga dan keturunanya mempunyai perhatian besar pada bidang pengairan dan pertanian.
Kemudian pada generasi penerus Airlangga, yaitu Raja Samarotsaha 1059 M pernah menetapkan Desa semengka sebagai sima perdikan swatantra. Anugerah raja diberikan diberikan sebagai apresiasi kepada pemuka desa yang berjasa memperbaiki saluran air peninggalan Resi Aji Paduka Mpungku yang dimakamkan di tirtha atau pemandian.
Lebih dari satu abad setelah masa Raja Samarotsaha, ketrurunan dari raja Airlangga berikutnya telah membuat prasasti di tempat ketinggian Gunung Semeru di tepi danau Ranu Kumbala. Prasasti Ranu Kumbala yang dibuat pada masa raja Kameswara (1180-1190), diduga terkait secara historis dengan prasasti congapan. Pembuatan dan lokasi prasasti yang berdekatan dengan air, menyiratkan bahwa raja Kameswara I mewarisi kecintaan terhadap air dan gunung dari leluhurnya yaitu Airlangga.
Sehingga prasasti congapan yang dibuat dengan dilengkapi pancuran dan bak air tidak lepas kaitan dengan tirtha amerta (air suci keabadian) sebagai simbol ritual tradisi Hindu. Selain itu tidak jauh dari lokasi prasasti, terdapat sungai sampean yang cukup besar sebagai urat nadi kehidupan masyarakat sekitar. Keberadaan sungai yang dekat dengan prasasti sangan erat hubungannya dengan pemberdaan sungai tersebut dimasa lalu.
Sampai sekarang kondisi jalan menuju prasasti congapan sanagat sulit dilalui, harus melewati jalan setapak yang berada di sisi selatan gunung dengan jalur menanjak terjal dan berbatu. Jalan berat yang dulunya dilintasi perjalanan tirthayatra  para raja masa hindu yang beraliran syiwa. Meskipun berat, misi spritual dengan mengambil air suci merupakan salah sau bentuk peribadatan yanng lazim disebut ‘pendakian spiritual’ dalam keyakinan hindu. Ritual dengan keyakinan  tirtayatra dengan pendaki gunung oleh raja dan pengiringnyajuga bermaksud sebagai serap aspirasi rakyat, dan juga sebagai rekreasi untuk menyegarkan badan dan pikiran.
Menurut Koordinator Balai Pelestari Cagar Budaya Jember, Didik Purbandriyo, lokasi prasasti congapan berada di lereng gunung karena adanya konsep mahameru yang dianut oleh pemeluk agama hindu. Dimana semakin tinggi lokasi tersebut maka semakin dekat pula dengan dewa.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, zainollah. Topographia sacra menelusuri jejak sejarah jember kuno. 2015. Araska: yogyakarta
Poeponegoro, marwati djoened. Sejarah nasional indonesia II. 2010. Balai pustaka: jakarta
Dinas pariwisata kebupaten jember

Museum diknas jember

0 komentar:

Posting Komentar